Narkotika LSD Menghantui Anak Penghisap Lem

Masa peralihan kanak-kanak menuju dewasa sangat mudah untuk diamati sebab ditandai dengan adanya perubahan secara fisik, psikis, dan psikososial. Masa dimana para pelakunya sibuk mencari jati diri mereka dan tertarik untuk selalu mencoba hal yang baru. Takut bila mendapat predikat Kuper (kurang pergaulan) atau Kudet (kurang update). Inilah yang dimaksud dengan masa remaja.

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 Tahun 2014, remaja adalah penduduk dengan rentang usia 10-18 tahun. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dengan rentang usia 10-19 tahun. Sedangkan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah.

Kenakalan remaja bukan menjadi sesuatu hal yang baru di telinga kita. Penyalahgunaan narkotika dengan bentuk yang bermacam-macam dapat dengan mudah dijumpai di sekitar kita. Bila dibandingkan dengan narkotika jenis lainnya seperti : ekstasi, jicingko, dan putaw, saat ini anak-anak yang salah pergaulan kerap berfantasi sambil menghisap lem Fox. Mereka menjatuhkan pilihannya pada lem Fox disebabkan harga yang terjangkau dan mudah diperoleh.

Bila ditelusuri lebih dalam, lem Fox ternyata mengandung senyawa Lysergic Acid Dhietilamide (LSD), yang merupakan narkotika sintesis dari penyarian jamur kering (ergo) yang tumbuh pada rumput gandum dan bersifat halusinogen. LSD memiliki rumus molekul C20H25N3O dengan nama resmi menurut IUPAC yaitu : (6aR,9R)-N,N-diethyl-7-methyl-4,6,6a,7,8,9-hexahydroindolo-[4,3-fg]quinoline- 9-carboxamide.

Albert Hofman berhasil mensintesis LSD dari ergot untuk pertama kalinya pada tahun 1938 dengan indikasi untuk stimulant pernapasan. Namun, barulah diketahui bahwa LSD memiliki efek halusinogen setelah Albert Hofman meminumnya di tahun 1943. Pada tahun 1974, LSD pertama kali diperkenalkan oleh Sandoz Laboratories atau yang saat ini lebih dikenal Novartis dengan nama dagang Delysid. Pada saat itu, obat ini digunakan dalam pengobatan khusus psikologis. LSD juga dikenal dengan nama LSD-25, Acid, Delysid, lisergida, D-asam lisergat dietilamida, dan N,N-dietil-Dlisergamida. Namun di Indonesia dikenal dengan nama acid, elsit, perangko, dan kertas dewa.

LSD merupakan senyawa hodrokarbon rantai tertutup terdiri dari polisiklik aromatik (benzen) dan sikloalkena. Aroma yang dihasilkan berasal dari cincin benzen yang dimilikinya, dengan rumus struktur seperti di bawah ini :

Rumus Struktur LSD

         

LSD bekerja dengan cara merangsang produksi serotonin dan mengaktifkan reseptor serotonin yang berada di korteks dan struktur dalam otak sehingga dihasilkan stimulasi otak yang berlebih. Stmulasi otak yang berlebih menyebaban perubahan dalam pikiran, perhatian, persepsi, dan emosi. Perubahan-perubahan ini muncul sebagai halusinasi yang diciptakan oleh pikiran sendiri.     

          Pemakaian terus menerus akan membuat ketergantungan secara fisik dan psikologis. Resiko yang terjadi selanjutnya adalah kerusakan sistem syaraf dan organ-organ penting lainnya seperti pernafasan dan paru-paru serta otak. Pengaruh jangka pendek membuat pupil mata melebar, susah tidur, mulut kering, suhu tubuh meningkat, denyut jantung lebih cepat, tekanan darah meningkat dan koordinasi otot terganggu. Pengaruh jangka panjang, bisa membuat penilaian yang salah tentang diri sendiri atau lingkungan, halusinasi, gampang panik, kebingungan cemas, bisa mengakibatkan gangguan jiwa, hilangnya kendali diri dan dapat melakukan kekerasan pada diri sendiri dan orang lain.

Pola kerusakan otak yang disebabkan oleh LSD (sumber :https://edition.cnn.com/2016/04/12/health/lsd-brain-imaging/index.html)

          Jika terapi penghentian obat narkotika dan psikotropika biasanya dilakukan dengan metode detoksifikasi melalui penurunan dosis secara perlahan sampai efek adiktif hilang, maka tidak demikian dengan pengguna LSD. Terapi penghentian LSD pada penggunanya dilakukan dengan metode Abstinensia yaitu penghentian pemakaian obat secara langsung. Hal ini dikarenakan LSD bersifat non adiktif dan memiliki toksisitas yang rendah. Namun tetap harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada dokter sebab pemakai LSD akan beralih dengan mencoba obat-obatan lain setelah penghentian pemakaian LSD.

Sejatinya, LSD merupakan obat yang masuk kategori Narkotika golongan I berdasarkan undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Pada pasal 12 ayat (1) disebutkan bahwa Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau  digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih lanjut, pada ayat (2) disebutkan Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kendati demikian, LSD pada fenomena ini bukan merupakan senyawa yang diperuntukkan untuk pengobatan melainkan pada kelengkapan perbaikan furnitur. Oleh karenanya, selain pengawasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian serta BNN, sangat dibutuhkan peran serta orang tua sebagai pelindung generasi muda demi masa depan Indonesia.

 

Oleh: Muhammad Anugerah Alam Waris & Ray Anah Shad

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *